Perempuan di Tanah Suci (1)

Dua orang jamaah haji Indonesia bertanya kepada saya dan kameramen TVRI, Fitriadi Agil Samal, yang sedang melihat-lihat barang dagangan di sebuah toko di wilayah Syisyah, Makkah, Arab Saudi. Waktu itu, awal September 2015, toko-toko di wilayah Syisyah baru saja buka.

Dua jamaah itu bertanya lokasi penjual mi ayam. Saya dan Bang Agil langsung mengarahkan keduanya ke seberang toko. Penjual mi ayam itu berada tepat di seberang toko tempat kami berdiri. Hanya dipisahkan jalan selebar lima meter.

Mi ayam itu menempati sebuah ruangan di dalam penginapan di wilayah Syisyah. Penginapan itu punya warga lokal. Kalau tidak salah, si empunya punya tiga orang anak: satu perempuan dan dua laki-laki.

Satu dari dua anak laki-laki merupakan anggota polisi buru sergap. Dia sering melakukan penyamaran, termasuk menggunakan taksi. Taksi itu sering terparkir di depan penginapan yang merangkap jadi rumah mereka.

Penginapan ini biasanya disewa oleh jamaah haji asal Amerika. Mereka memadati penginapan sekitar satu pekan sebelum wukuf hingga dua hari pascawukuf. Keuntungan menyewakan penginapan selama sekitar sepuluh hari itu bisa untuk hidup tiga tahun karena orang Arab hanya makan roti seharga 1 riyal.

Balik lagi ke soal mi ayam.

Ruangan tempat penjual mi ayam itu merupakan ruangan yang ditempati Bang Andi bersama istrinya. Bang Andi adalah penjaga rumah tersebut. Di dalam ruangan itu, ada beberapa sekat untuk kamar tidur, dapur, dan entah satu ruangan lagi untuk apa.

Dia betah bekerja karena majikannya sangat baik. Belum lagi, pekerjaannya sangat ringan. Menurut dia, dia nyaris makan gaji buta. Dengan gajinya, dia masih bisa membeli mobil dan mengirim uang ke tanah air. Setidaknya, saya jadi tahu tidak semua orang Arab tukang menyiksa.

Saya dan Bang Agil turut mengantarkan keduanya ke penjual mi ayam itu.

“Bang, ini cari mi ayam,” kata saya kepada si penjual mi ayam bernama Andi.

“Kan tadi juga udah ditawarin, Neng,” sahut Bang Andi.

“Bukan aku. Ini jamaah yang cari mi ayam,” jawab saya lagi seraya menunjuk pasangan suami-istri asal Surabaya.

“Oh, mau berapa mi ayamnya?” tanya bang Andi kepada pasangan suami-istri itu.

“Dua,” jawab si perempuan.

“Oke, silakan duduk,” kata Bang Andi sembari memberikan dua kursi plastik.

Saya dan Bang Agil turut juga duduk di bagian depan. Ada tiga orang lain yang sudah duduk. Mereka juga pekerja asal Indonesia yang bermukim di tanah suci. Keempatnya juga sedang bersemangat mendirikan organisasi bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi.

Bang Andi masuk ke dalam untuk bilang ke istrinya ada pesanan mi ayam. Setelah matang,istrinya mengenakan kerudung melongok ke depan untuk mengabarkan mi ayam sudah matang. Bang Andi masuk ke dalam untuk mengambil mi ayam, lalu menyerahkan kepada pasangan suami-istri tersebut.

Saya, Bang Agil, dan para pekerja asal Indonesia yang bermukim di Arab Saudi ini pun berbincang mengenai banyak hal. Mulai dari aktivitas mereka memberi advokasi untuk pekerja Indonesia di tanah suci, kehidupan sehari-hari di Arab Saudi, hingga keenganan mereka pulang ke tanah air dengan alasan ‘sudah betah’.

Tidak berapa lama, pasangan suami istri itu selesai makan mi ayam. Keduanya membayar 20 riyal untuk dua mangkok mi ayam. Mahal memang tapi mau bagaimana lagi ini bukan Indonesia yang harga mi ayamnya hanya 2 riyal satu porsi.

Setelah kedua jamaah Indonesia itu pergi, saya pun menjadi satu-satunya perempuan. Saya tidak merasa ada yang aneh karena saya juga terbiasa dengan //nongkrong-nongkrong// di pinggir jalan selama di Indonesia.

Saya merasa ada yang aneh ketika setiap ada warga lokal yang melintas, mereka akan melihat ke arah saya dengan pandangan heran. Lama-lama, saya menyadari: oh, iya, saya di negara Arab yang memisahkan atau memberi hijab pada relasi perempuan dan laki-laki.

Tapi, saya santai saja dengan alasan saya ini pendatang. Bukan warga lokal. Juga, saya bukan orang yang bermukim di Arab Saudi. Saya terus mendengarkan percakapan dengan para laki-laki. Berbagi tawa dengan mereka sembari minum air Zam Zam. Mereka menawari saya kopi, tapi saya menahan diri tidak minum kopi. Begitu pula dengan Bang Agil.

Ketika asyik ngobrol, sebuah mobil berhenti di depan kami. Bang Andi langsung bilang, si pengendara hendak menjemput anak majikannya yang perempuan. Dia pun langsung bilang, kalau anak majikannya mau keluar maka para lelaki harus berdiri, menjauh dari pintu.

Alasannya? Laki-laki dilarang melihat perempuan kendati perempuan itu mengenakan burqa atau niqab. Burqa merujuk pada hijab yang disertai dengan penutup wajah, termasuk mata. Sedangkan niqab merupakan hijab yang dilengkapi dengan penutup sebagian wajah, mata masih terlihat.

Benar saja, ketika si anak majikan Bang Andi hendak keluar, para laki-laki langsung berdiri.

“Kamu di situ aja, enggak apa-apa,” ujar Bang Andi kepada saya.

“eh?” saya yang hendak berdiri merasa heran.

“Kamu perempuan, enggak termasuk,” sahut dia.

“oh,” saya kembali duduk.

Usai si anak majikan masuk ke mobil bersama suami yang menjemputnya, para pria itu kembali duduk bersama saya. Bang Andi pun menjelaskan bahwa laki-laki dilarang menatap kea rah perempuan di Arab Saudi.

Juga, jangan coba-coba berlama-lama memandangi perempuan di Arab Saudi. Larangan tersebut sangat tegas hingga perempuan bisa menuntut pria yang menatapnya ke meja hijau. “Banyak yang kejadian begitu,” kata Bang Andi. Sebab, tatapan kepada perempuan dapat masuk kategori pelecehan terhadap perempuan.

Penjelasan Bang Andi mengingatkan saya pada beberapa bacaan soal perempuan di negeri Barat yang dapat mengajukan gugatan hukum kepada laki-laki yang menatapnya. Alasannya, itu pelecehan.

N

nn