Sekitar empat tahun lalu, Irshad Manji datang ke Indonesia. Namun, diskusi dengan perempuan berkewarganegaraan Kanada ini mendapat penolakan dari banyak pihak sehingga harus dibubarkan. Saya tidak hendak menyoroti aksi-aksi represif terhadap diskusi Irshad Manji. Ketika itu, ada diskusi di media sosial tentang jilbab, khususnya membantah pendapat Manji soal pakaian yang berfungsi sebagai pemisah antara perempuan dan laki-laki itu.
Saya ingat diskusi atau wacana yang muncul ketika itu adalah jilbab di Indonesia berbeda dengan jilbab di Arab atau negara Timur Tengah lainnya atau juga di Pakistan. Jilbab di Indonesia bukan lah pakaian wajib. Perempuan-perempuan di Indonesia tidak diwajibkan mengenakan jilbab, baik itu oleh orang tua maupun oleh sistem masyarakat. Perempuan-perempuan di Indonesia punya pilihan: mengenakan jilbab atau tidak mengenakan jilbab.
Saya juga kerap mengajukan argumentasi itu untuk menunjukkan bahwa Islam di Indonesia berbeda dengan negara-negara Arab atau Timur Tengah. Kami-para perempuan-tidak dipaksa mengenakan jilbab. Jilbab di Indonesia juga sangat beragam karena berkelindan dengan industri fashion. Karena itu, fashion hijab pun menjadi semarak beberapa tahun ini. Bahkan, fashion jilbab syar’i memiliki pangsa pasarnya sendiri*.
Namun, akhir-akhir ini saya tidak bisa lagi mengajukan argumen tersebut. Jilbab tidak hanya dominan karena ada banyak perempuan mengenakan jilbab, tapi jilbab telah bertransformasi menjadi sesuatu yang wajib dalam sistem masyarakat kita. Laki-laki meminta istrinya mengenakan jilbab. Ada juga pria yang menjadikan jilbab sebagai syarat untuk memperistri seorang perempuan sehingga dia menyuruh pacarnya untuk mengenakan jilbab. Ada juga orang tua yang meminta anaknya berjilbab. Saya juga melihat kewajiban berjilbab dalam sistem masyarakat kita sekarang ini pada anak-anak kecil, bahkan bayi, yang sudah mengenakan jilbab.
Apakah memang Islam mewajibkan anak-anak perempuan kecil mengenakan jilbab? Kendati mereka belum baligh? Saya bukan ahli fiqih, tapi kondisi itu membuat saya berpikir betapa jilbab telah ‘memaksakan’ sesuatu pada tubuh-tubuh kecil.
Saya menggunakan kata ‘memaksakan’ lantaran anak-anak kecil itu telah kehilangan hak untuk menentukan pakaian mana yang hendak dia kenakan. Para orang tua yang memakaian jilbab pada anak-anak perempuan mereka telah merenggut mereka dari pilihan: pakai jilbab atau tidak pakai jilbab. Padahal, saya cukup meyakini, para orang tua dulu punya pilihan atas jilbab: ingin pakai atau tidak ingin pakai.
Seorang teman beralasan bahwa anaknya yang meminta sendiri pakai jilbab. Tapi, pernahkan mereka bertanya kenapa si anak ingin pakai? Apakah karena ikut-ikutan? Sebab, tidak bisa dimungkiri sekarang ini kita hidup di masyarakat yang meyakini jilbab sebagai pakaian perempuan. Ada banyak anak meminta mengenakan jilbab karena teman-teman di sekolah pakai sehingga dia tidak ingin kelihatan aneh dengan tidak memakai.
Hal yang tidak kalah penting adalah apakah anak-anak itu sudah memahami bahwa jilbab bisa jadi sebuah komitmen seumur hidup. Saya bukan termasuk golongan orang yang percaya bahwa jilbab adalah komitmen seumur hidup. Setiap perempuan berhak melepaskannya, seperti halnya setiap perempuan berhak mengenakannya.
Namun, banyak yang memutuskan mengenakan pakaian itu untuk seumur hidup atau istilah kerennya: istiqomah. Karena itu, pernahkah para orang tua itu memberitahu anak-anaknya bahwa itu komitmen seumur hidup? Pernahkah para orang tua menjelaskan arti pakaian itu kepada anak-anaknya sebelum ‘memaksakan’ si anak mengenakannya?
Saya hanya berharap kita tidak merenggut mereka-anak-anak perempuan-dari pilihan atau hak atas tubuh mereka. Biarkan mereka memilih…. Sebab, kita dulu punya pilihan itu.
-N-
*Saya sesungguhnya tidak sepakat dengan dikotomi jilbab syar’i dan tidak syar’i. Tapi, dikotomi tersebut mungkin memang diperlukan sehingga memudahkan pasar dalam urusan jual-beli.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.